Saturday, September 4, 2010

Hubungan bahasa dengan umur, jenis kelamin, dan status sosial


Jika bahasa dikaitkan dengan umur, jenis kelamin, dan status sosial, maka itu tidak akan terlepas dari kajian ilmu sosial (sosiologi) dan ilmu bahasa sendiri (linguistik), tiga hal diatas  secara langsung akan menggolongkan masyarakat menjadi berbagai kelompok. Disiplin ilmu yang mengkaji hubungan antara bahasa dengan masyarakat dinamakan kajian sosiolinguistik, yaitu gabungan dari disiplin sosiologi dan linguistik. Berikut ini akan diuraikan secara rinci antara hubungan bahasa dengan umur, jenis kelamin, dan status sosial dalam kajian sosiolinguistk.
a. Hubungan bahasa dengan umur
Umur secara langsung membagi masyarakat menjadi beberapa golongan usia, yaitu anak-anak, remaja, dan dewasa. Batasan antar golongan usia di sini tidak dapat ditentukan secara pasti. Jika membicarakan hubungan antara bahasa dengan umur atau usia pengguna bahasa itu sendiri, berarti secara langsung mengkaitkan hal di atas dengan dialek sosial (sosiolek), yakni variasi bahasa yang berkaitan dengan status, golongan, dan kelas sosial para penuturnya. Menurut Chaer dan Agustina (2004), berdasarkan usia, dapat dilihat perbedaan variasi bahasa yang digunakan oleh anak-anak, para remaja, orang dewasa, dan orang yang tergolong lansia(=lanjut uisa). Namun demikian, variasi tutur tersebut sifatya temporer karena pengguna ragam tutur tersebut juga mengalami perubahan usia, seiring dengan perubahan usia tersebut maka ragam tutur yang digunakan seseorang akan berubah, sebagai contohnya ketika seorang anak menginjak usia remaja, maka anak tersebut meninggalkan ragam tutur anak-anaknya yang terkesan sederhana dan beralih ke ragam tutur remaja yang lebih unik dan bervariasi. Labov dalam Pateda (1990) mengatakan, makin tinggi umur seseorang, maka makin banyak kata yang dikuasainya, begitu juga pemahamanya dalam struktur bahasanya. 
Anak-anak dalam menggunakan bahasanya menggunakan ragam tutur yang berbeda dengan ragam tutur remaja maupun dewasa. Ragam tutur ini bercirikan adanya pengurangan (reduksi) pada kata-kata penghubung, kata sambung, kata depan, partikel, dan sebagainya. 
Seperti disebutkan di atas, ragam tutur remaja lebih tekesan unik dan bervariasi. Keunikan tersebut disebabkan oleh kecenderungan para remaja yang suka membentuk kelompok-kelompok yang bersifat eksklusif yang membedakan dengan kelompok lain sehingga menghasilkan bahasa-bahasa yang terkesan rahasia (slang) yang hanya dimengerti oleh anggota kelompok tersebut.
Adapun ragam orang dewasa dalam masyarakat dicirikan dengan keteraturan atau kesesuaian dengan kaidah kebahasaan yang berlaku dalam tiap-tiap bahasa tersebut.
b. Hubungan bahasa dengan jenis kelamin
Di dalam masyarakat, ada dua jenis kelamin yang diakui yaitu laki-laki dan permpuan. Dalam  kaitanya dengan penggunaan bahasa, menurut ilmu sosiolinguistik, dapat dilihat adanya perbedaan ragam tutur yang digunakan oleh laki-laki dan perempuan. Untuk mempermudah pemahaman, selanjutnya pria akan disingkat menjadi P dan wanita akan disingkat menjadi W.
Sumarsono (2008) menyatakan ada beberapa faktor yang berhubungan dengan perbedaan bahasa antara laki-laki dan perempuan, diantaranya adalah faktor suara dan intonasi.  Sudah diketahui bersama bahwa antara laki-laki dan perempuan memiliki jenis suara yang berbeda, jenis suara wanita pada umumnya adalah alto dan sopran, sedangkan jenis suara pria adalah tenor dan bas. Hal tersebut tentu saja berkaitan dengan perbedaan organ-organ tubuh penghasil suara antara laki-laki dan perempuan.
Menurut Wardhaugh (1988), terdapat perbedaan berbahasa antara laki-laki  dan perempuan. Perbedaan itu meliputi beberapa tataran kebahasaan dengan beberapa contoh kasus yang ditemukan dalam bahasa tersebut: (a) Perbedaan fonologi. Ditemukan perbedaan fonologi antara tuturan bahasa laki-laki dan perempuan. Sebagaimana perbedaan variasi yang ditemukan di dalam perbedaan dialek-dialek yang ada di Inggris. Seperti bahasa Siberian Chukchi, pada L (dan tidak pada P) kerap menghapus salah satu fonem /n/ dan /t/ ketika keduanya bertemu di antara dua vokal dalam satu kata. Seperti, P menuturkan nitvaqenaat sedangkan L menuturkan nitvaqaat; (b) Perbedaan pada tataran morfologi dan leksikon. Dalam tataran ini Wardhaugh mengutip contoh yang dikemukakan oleh Lakoff yang menyatakan bahwa pada bahasa Inggris wanita sering menggunakan kosakata warna seperti mauve, beige, aquamarine, lavender, dan magenta; sedangkan laki-laki tidak. Dan bahasa Inggris pula memiliki kosakata yang di dasarkan pada perbedaan gender/jenis kelamin, seperti actoractress, waiterwaitress, mastermistress, dll.
Dalam beberapa bahasa, terdapat juga beberapa contoh perbedaan penggunaan kosakata yang digunakan oleh P dan L meskipun ini tidak secara keseluruhan. Dalam bahasa Jepang, terdapat beberapa contoh yang jelas.
Perempuan
Laki-laki

Ohiya 
Mizu
‘air’
Onaka
Hara
‘perut’
Oisii
Umai
‘lezat’
Taberu
Kuu
‘makan’
Tabel Holmes (1992:165)
Beberapa tanda kebahasaan berdasarkan jenis kelamin pengguna tuturan terdapat dalam pengucapanya. Dalam bahasa Jepang, ada sebuah kata atashi yang berarti ‘saya’ hanya digunakan oleh perempuan, dan boku yang hanya digunakan oleh laki-laki, akan tetapi terdapat juga kata watakushi yang bisa digunakan oleh keduanya baik penutur laki-laki maupun perempuan (Holmes, 1992:165-166).
c. Hubungan bahasa dengan status sosial
Sebelum membicarakan hubungan bahasa dengan status sosial, terlebih dahulu akan dibahas adanya tingkat sosial dalam masyarakat. Chaer dan Agustina (2004) menjelaskan bahwa tingkat sosial di dalam masyarakat dapat dilihat dari dua segi: pertama, dari segi kebangsawanan; kalau ada, kedua, dari segi kedudukan sosial yang ditandai dengan tingkat pendidikan dan keadaan perokonomian. Biasanya yang memiliki pendidikan lebih baik memungkinkan untuk memperoleh taraf perokonomian yang lebih baik pula. Tetapi ini tidak mutlak. Bisa saja taraf pendidikanya lebih baik, namun, taraf perekonomianya kurang baik. Sebaliknya, yang memiliki taraf pendidikan kurang, tetapi memiliki taraf perekonomian yang baik. 
Dalam bahasa Jawa, hubungan antara variasi bahasa yang penggunaanya didasarkan pada tingkat-tingkat sosial ini dikenal dengan istilah undak usuk. Uhlenceck (1970), seorang pakar bahasa Jawa, membagi tingkat variasi menjadi tiga, yaitu krama, madya, dan ngoko. Lalu, masing-masing diperinci lagi menjadi muda krama, kramantara, dan wreda krama madyangoko, madyantara, dan madya krama; ngoko sopan dan ngoko andhap. Misalnya jika seseorang yang status sosialnya lebih rendah berbicara kepada orang yang mempunyai status sosial yang lebih tinggi atau sebaliknya, maka masing-masing menggunakan variasi bahasa Jawa yang berlainan. Pihak yang tingkat sosialnya lebih rendah menggunakan tingkat bahasa yang lebih tinggi, yaitu krama; dan yang tingkat sosialnya lebih tinggi menggunakan tingkat bahasa yang lebih rendah, yaitu ngoko. Seperti Perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam bahasa Jawa dialek Yogya – Solo dan bahasa Jawa dialek Surabaya, sebagaimana tabel berikut (Sumarsono, 2008:43-48).
Bahasa Indonesia
Yogya-Solo
Surabaya

Krama
Ngoko
Krama
Ngoko
1
2
3
4
5
saya
kula
aku
kula
Aku
kamu
sampeyan
kowe
sampeyan
Kon
tidak
mboten
ora
mboten
gak; dak
sudah
sampun
wis
sampun
Wis
Perbedaan tingkat bahasa seperti ini juga dapat ditemukan di dalam beberapa bahasa di dunia.

2 comments:

Himaprodi PBSI said...

saya lihat artikel ini memuat pendapat dari para ahli. bisa diposting daftar rujukan yang digunakan? kebetulan saya sedang membuat penelitian mengenai tema yang sama. terima kasih

Himaprodi PBSI said...
This comment has been removed by the author.