Berikut uraian fenomena sosiolinguitis yang terdapat di beberapa daerah seperti Marthasvineyard, Ucieda, dan Ballymacarrett:
a. Marthasvineyard
Marthasvineyard merupakan sebuah pulau kecil sekitar tiga mil lepas pantai Massachusetts. Pada hari libur, pulau ini di penuhi oleh wisatawan dari Boston dan New York. Penduduk tetap dipulau itu berjumlah 6000 jiwa, namun di setiap musim panas pulau ini dibanjiri oleh pengunjung yang lebih banyak daripada jumlah penduduk setempat, sekitar tujuh banding satu. Meskipun pendapatan mereka tergantung kepada wisatawan, namun mereka sangat membenci wisatawan, dan sikap mereka direfleksikan pada bahasa yang digunakan oleh penduduk vineyard. linguistik survei menunjukkan bahwa sikap-sikap ini tercermin dari cara mereka melafalkan kata light dan house, terjadi perubahan bunyi pada pelafalan vokal di kosakata tersebut secara bertahap menjadi lebih ketengah/terpusat, hingga light dilafalkan [l«it] (bunyinya sedikit menyerupai seperti layeet), dan house dilafalkan [h«us] (bunyinya menyerupai seperti heyoose). Perubahan bunyi yang tampaknya terjadi secara tidak sadar ini telah berubah kearah pelafalan yang konservatif, karena perubahan bunyinya mengarah pada bentuk yang pernah digunakan dimasa lampau yang kemudian tidak pernah digunakan lagi, namun direvitalisasi sebagai bentuk ungkapan solidaritas di antara mereka sebagai penduduk asli pulau, dan sebagai bentuk kesetiaan pada nilai-nilai kehidupan pedesaan serta gaya hidup sederhana nan damai.
Fenomena ini secara eksplisit mengilustrasikan bagaimana segi vernakular memperoleh makna sosial dan menyebar melalui komunitas, lalu menjadi penanda status mereka sebagai anggota masyarakat setempat, yakni sebagai penduduk vineyard (vineyarder).
b. Ucieda
Ucieda adalah salah satu desa kecil di spanyol dekat provinsi Santander. Di desa ini, laki-laki terpaksa mencari istri diluar desanya, hal ini disebabkan banyak perempuan desa tidak mau menikah dengan pekerja lokal yang berternak sapi perah, karena mereka tidak ingin tetap tinggal di desa pertanian tersebut. ‘Terjebak’ tinggal dirumah seperti ibu mereka, dengan berternak sapi dan mengasuh anak bagi mereka merupakan hal yang sangat tidak menarik.
Tuturan perempuan merefleksikan aspirasi sosial mereka, mereka lebih banyak menggunakan bahasa kastilia (castilian) standar dengan pelafalan /o/ di akhir kata, dan sedikit sekali perempuan yang melafalkan /u/ di akhir kata dibandingkan dengan laki-laki.
Pada umumnya, tuturan perempuan di Ucieda lebih dekat kepada bentuk standar atau lafal yang berprestise dibandingkan dengan laki-laki. Bentuk standar yang digunakan para perempuan di desa ini merupakan pengaruh perbedaan gaya hidup yang mereka lihat dalam pekerjaan yang digeluti, baik sebagai juru masak pada keluarga kelas atas, maupun sebagai pelajar di universitas. Mereka menggunakan lebih banyak bentuk-bentuk standar dengan orang-orang di luar desa, dan secara bertahap memperluas bentuk-bentuk ini sepanjang pertuturan mereka, hal tersebut tidak hanya merefleksikan kontak sosial mereka, juga merefleksikan nilai dan aspirasi mereka. Hal yang menarik di sini adalah perempuan banyak memperkenalkan variasi-variasi yang berprestise dalam tuturan Ucieda.
c. Ballymacaret
Ballymacarrett merupakan salah satu wilayah di Belfast, tepatnya di sebuah daerah penganut protestan di sebelah timur sungai Lagan di Belfast, Irlandia Utara. Di wilayah ini, sedikit sekali laki-laki yang berstatus pengangguran, hal ini dikarenakan stabilnya lapangan pekerjaan di galangan kapal lokal.
Fenomena sosiolinguistis yang ada di ballymacarrett ditemukan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Milroy, ia meneliti beberapa aspek pertuturan di tiga wilayah buruh yang ada di Belfast, salah satunya di wilayah Ballymacarrett, di daerah tersebut terdapat korelasi yang signifikan antara variabel dan kekuatan jaringan sosial, karena semakin besar jaringan sosial yang ada di masyarakat, semakin besar pula variasi-variasi bahasa bentuk non-standar (vernacular) yang digunakan dalam berinteraksi. Kekuatan jaringan sosial yang ada di Ballymacarret berkorelasi dengan penggunaan bahasa sehari-hari, bahasa sehari-hari yang digunakan adalah bahasa non-standar. Mereka sering mendelesi th [D] pada kata mother dan brother, mereka juga melafalkan man dengan [mo:n], dan map dengan [ma:p].
Fenomena sosiolinguistis lain yang diamati di Ballymacarrett adalah ditemukan perbedaan penggunaan variasi bahasa yang signifikan antara laki-laki dan perempuan. Penggunaan bentuk vernakular pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan bentuk vernakular pada perempuan, karena jaringan sosial perempuan di Ballymacarrett lebih tertutup dibanding laki-laki. Fenomena yang menarik adalah perempuan selalu mengacu pada penggunaan bahasa standar sedangkan laki-laki mendominasi penggunaan bentuk vernakular.
Berikut uraian tentang beberapa penemuan-penemuan sosiolinguistis yang telah di capai oleh para ahli seperti Trudgill, William Labov, Milroy, dan Chesiher yang akan di deskripsikan satu persatu:
a. Trudgill
Peter Trudgill adalah seorang linguis dengan penemuanya di bidang sosiolinguistik, salah satunya mengenai “Social and Regional Accent Variation”. Dalam buku Holmes (1992) dijelaskan mengenai variasi aksen regional dan sosial yang telah ditemukan oleh Trudgill. Holmes menjelaskan tentang variasi sosial berdasarkan temuan Trudgill, menurutnya orang yang berada pada kelas sosial atas pasti disertai dengan pendidikan yang tinggi pula, dan seperti kita ambil cotoh adalah orang- orang Inggris, bagi mereka yang mamiliki status sosial dan pendidikan yang tinggi, berarti mereka mendapatkan pelajaran RP (Received Pronunciation), yaitu aksen yang didapat dari pendidikan yang tinggi dan anggota dari kelas sosial yang tinggi di Inggris. Keadaan sosial ini digambarkan dengan diagram segitiga oleh Trudgill, yang menunjukkan gambaran aksen sosial masyarakat. Diagram segitiga tersebut menjelaskan bahwa terdapat variasi linguistik pada masyarakat kelas ekonomi rendah dimana terdapat berbagai perbedaan secara regional disana. Intinya dari diagram tersebut ialah jika kelas sosial tinggi, aksen lokal regional jarang sekali digunakan, dan lebih banyak mengunakan RP; jika kelas sosial rendah, maka yang banyak digunakan adalah aksen regional mereka daripada RP. Diagram tersebut menggambarkan distribusi aksen di Inggris hingga sekarang. Dalam buku Trudgill (1980), juga membahas penenmuanya mengenai perbedaan sosial dan bahasa, yang intinya sama yaitu mengenai korelasi antara kelas sosial dan ucapan, bahwa kelas bawah cenderung tidak menggunakan RP daripada masyarakat kelas sosial atas.
Lebih jelasnya, Trudgill (1974) mengamati16 perbedaan variabel fonologi yang terjadi di Norwich, Inggris.Sebagaimana yang dilakukan Labov, ia juga mencoba menguraikan variasi-variasi yang ada kemudian dihubungkan dengan kelas sosial penuturnya, diantara penelitiannya adalah mengenai perbedaan penggunaan:/Å‹/, /t/, /h/ seperti pada kata singing,butter, dan hammer, dan yang lebih sering digunakan dalam skala sosial adalah variasi /n/, /?/, dan /O/ daripada /Å‹/, /t/, /h/. Distribusi dari masing-masing variabel mempunyai karakteristik yang mengacu pada kelas sosial tertentu, misalnya kata singing akan berubah menjadi singin’, dan kata hammer menjadi ‘ammer. Anggota masyarakat kelas bawah akan menggunakan singin daripada singing, ‘ammer daripada hammer. Berdasarkan analisisnya, ternyata variasi-variasi tersebut tidak hanya menunjukkan kelas sosial tertentu, akan tetapi mengarah kepada gender/jenis kelamin tertentu, yang mana perempuan lebih sering menggunakan kata singing dibanding menggunakan singin’, dan laki-laki lebih sering menggunakan singin’ daripada singing.
b. Labov
William Labov melakukan penelitian sosiolinguistik dalam “New York City Speech” yang mana dipandang sebagai sesuatu yang klasik dalam sosiolinguistik. Dalam buku Holmes (1992), karya Labov mengungkapkan mengenai pola berdasarkan kelas sosial dari penutur dari prosentase bahasa standard ke non standard yang mereka hasilkan. Di New York, Labov mempelopori demonstrasi penemuan yang menarik yang dilakukan dengan rapi dan ekonmis, bahwa pengucapan [r] sangat bervariasi di kota tersebut dan pembagiannya berdasarkan kelas sosial. Di New York, pengucapan [r] dianggap sangat berprestise, sedangkan di Inggris, jika terdapat dalam bacaan maka dianggap tidak berprestise. Dalam penelitiannya tersebut Labov mengukur pengucapan lima vokal sebaik pengucapan dalam sejumlah konsonan. Sumarsono (2008) Menambahkan, penelitian Labov ini sangat penting bagi penelitian dialek dan variasi kelas sosial.
c. Milroy
Milroy dalam penelitiannya, mengambil pendekatan yang sedikit berbeda dari peneliti lainnya dalam hal variasi, penelitiannya mengenai beberapa aspek tertentu yang datanya di ambil dari tiga kelas wilayah pekerja di Belfast, irlandia utara, yaitu di Ballymacarrett, daerah penganut protestan di Belfast Timur; Hammer, daerah penganut protestan di Belfast Barat; dan Clonard, daerah penganut katolik di Belfast Barat. Penelitiannya ditekankan pada jaringan sosial (social network).
Dari penelitian, ia menyimpulkan bahwa di ketiga tempat tersebut di atas hanya di Ballymacarrett ditemukan korelasi yang signifikan antara variabel dan kekuatan jaringan (networkstrength), semakin besar kekuatan jaringan sosial semakin besar potensi munculnya varian yang di identifikasi dengan bahasa Belfast non-standar (vernakular).
Di ballymacaret juga ditemukan perbedaan variasi antara L dan P, yang mana laki-laki lebih sering menggunakan bentuk vernakular di banding perempuan, karena di dua komunitas lainnya tidak ditemukan perbedaan penggunaan variasi antara L dan P. Dengan demikian dalam penelitiannya Milroy menyimpulkan bahwa diantara tiga komunitas di Belfast, Ballymacarrett merupakan daerah yang memiliki jaringan sosial yang paling kuat, dan ditemukan pula penggunaan bentuk vernakular yang lebih besar dari dua komunitas lainnya.
d. Cheshire
Jenny Cheshire melakukan penelitian di Inggris mengenai variasi linguistik. Penelitian tersebut berfokus pada variabel /-s/ pada pertuturan antara tiga kelompok anak laki-laki dan perempuan yang berusia sekitar 9-17 tahun, pada kasus ini, variabel /s/ yang seharusnya digunakan hanya pada kata kerja orang ketiga tunggal juga menjadi penanda untuk kata kerja dengan subjek yang lain, misalnya: Iknows, youknows, wehas, dan they calls. Hasil dari penelitiannya, kebanyakan dari mereka menggunakan kata yang tidak standar seperti wehas (seharusnya wehave) atau hedo (seharusnya hedoes) penggunaan s/es yang seharusnya ditujukan orang ketiga tunggal, cheshire menyebutnya dengan hambatan dalam penggunaan. Pada kasus have Cheshire menemukan bahwa has hanya digunakan sebagai kata kerja yang sesungguhnya/fullverb, seperti pada kalimat: we has a muck around there; atau sebelum infinitif, seperti pada kalimat: I has to stop in; has tidak pernah digunakan sebagai auxiliary, dengan demikian bentuk kalimat yang ditemukan adalah I have got, bukan I has got. Di samping faktor usia, ditemukan pula bahwa faktor sosial juga berpengaruh terhadap penggunaan variasi-variasi yang ada, dan anak-anak dengan tingkat garis kekerasan hidup yang tinggi cenderung menggunakan bahasa yang tidak standar. Lantas, menurut Cheshire, variasi dikendalikan oleh dua hal, faktor sosial dan faktor linguistik.
Keempat topik di atas yang menjadi pokok bahasan kali ini masih berkaitan dengan masalah kontak bahasa yang terjadi dalam masyarakat bilingual atau multilingual. Berikut akan diuraikan secara rinci mengenai fenomena-fenomena kebahasan tersebut di atas.
a. Pemertahanan bahasa
Pemertahanan bahasa adalah usaha agar suatu bahasa tetap dipakai dan dihargai, terutama sebagai identitas kelompok, dalam masyarakat bahasa yang bersangkutan melalui pengajaran, kesusastraan, media massa, dan sebagainya (Kridalaksana, 2001:159). Sering dijumpai kasus kebahasan dalam masyarakat bahwa penggunaan B1 oleh sejumlah penutur dari suatu masyarakat yang bilingual atau multilingual cenderung menurun akibat adanya B2 yang lebih yang mempunyai fungsi yang lebih superior. Namun dalam contoh kasus bahasa tertentu, ada bahasa yang sanggup bertahan dari ‘tekanan’ bahasa yang lebih dominan. Penelitian yang dilakukan Sumarsono (dalam Chaer dan Agustina) berikut akan memaparkan bagaimana bahasa Melayu Loloan di Bali mampu bertahan di tengah bahasa Bali yang lebih dominan.
Penduduk desa Loloan, Bali berjumlah tiga ribu jiwa dan tidak menggunakan bahasa Bali melainkan bahasa Melayu Loloan, sebagai B1 dan mereka semua beagama Islam. Di tengah bahasa B2 yang lebih dominan, yaitu bahasa Bali, mereka dapat bertahan untuk tetap menggunakan menggunakan bahasa pertamanya, yaitu bahasa Melayu Loloan, sejak abad ke-18 yang lalu, ketika leluhur mereka yang mengaku berasal dari Bugis dan Pontianank tiba di tempat itu. Menurut Sumarsono (1990) ada beberapa Faktor yang menyebabkan masyarakat penutur bahasa Melayu Loloan dapat mempertahankan bahasa mereka, yaitu:
·Wilayah pemukiman mereka terkonsentrasi pada suatu tempat yang secara geografis agak terpisah dari wilayah pemukiman masyarakat Bali.
·Adanya toleransi dari masyarakat mayoritas Bali yang mau menggunakan bahasa Melayu Loloan dalam berinteraksi dengan golongan minoritas Loloan, meskipun dalam berinteraksi itu kadang-kadang digunakan juga bahasa Bali.
·Anggota masyarakat Loloan memiliki sikap keislaman yang tidak akomodatif terhadap masyarakat, budaya, dan bahasa Bali
·Anggota masyarakat Loloan memiliki loyalitas yang tinggi terhadap bahasa mereka, karena mereka mengganggap bahwa bahasa Melayu Loloan merupakan lambang identitas masyarakat Loloan yang beragama islam.
Berdasarkan faktor-faktor diatas, masyarakat melayu Loloan mampu mempertahankan bahasa mereka terhadap bahasa Bali yang lebih dominan.
b. Perpindahan bahasa
Perpindahan bahasa atau yang kerap juga disebut pergeseran bahasa (language shift) menurut Kridalaksana (2001) adalah perubahan secara tetap dalam pilihan bahasa seseorang untuk keperluan sehari-hari, terutama akibat dari migrasi. Chaer dan Agustian (2004) menambahkan bahwa Perpindahan bahasa merupakan hal yang berkaitan dengan masalah penggunaan bahasa oleh seorang atau sekelompok penutur yang bisa terjadi, akibat perpindahan dari suatu masyarakat tutur ke masyarakat tutur lain. pada umumnya, pergeseran bahasa terjadi di negara, daerah, atau wilayah yang menjanjikan kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik, sehingga mengundang para imigran atau transmigran untuk datang ke tempat-tempat tersebut dengan harapan untuk mendapat kehidupan yang tentunya lebih baik dari sebelumnya.
Ada beberapa faktor utama yang menjadi penyebab pergeseran bahasa yaitu faktor migrasi, ekonomi, sosial, dan politik. Berikut akan diruaikan mengenai beberapa faktor penyebab pergeseran bahasa tersebut.
Faktor ekonomi menduduki peranan penting sebagai faktor utama pendorong perpindahan bahasa, sebagai contohnya seperti yang dilaporkan Ayatrohaedi (dalam Chaer dan Agustina) mengenai kasus bahasa Sunda di desa Legok, Indramayu, yang telah punah ditinggal para penuturnya. Sampai tahun enam puluhan penduduk desa itu masih berbahasa Sunda; tetapi sekarang mereka hanya dapat berbahasa Cirebon, sebagai akibat tidak adanya pilihan lain selain menggunakan bahasa Jawa Cirebon. Lancarnya arus transportasi ke Cirebon sehingga memudahkan mereka mendapatkan perekonomian yang lebih baik dan wilayahnya yang terkepung oleh komunitas penutur bahasa Cirebon menyebabkan mereka beralih menggunakan bahasa Cirebon untuk berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari.
Faktor migrasi menduduki peran yang tidak kalah penting dalam perpindahan bahasa, arah migrasi dapat dibagi menjadi dua: pertama, beberapa kelompok kecil bermigrasi ke daerah atau negara yang lain, sehingga menyebabkan bahasa mereka tidak digunakan di wilayah yang baru. Seperti yang terjadi pada kelompok-kelompok migrasi berbagai etnik di Amerika Serikat; Kedua, arah migrasi yang sebaliknya, yaitu migrasi gelombang besar penutur bahasa membanjiri sebuah wilayah kecil dengan sedikit penduduk, sehingga menyebabkan terpecahnya penduduk setempat dan pergeseran bahasa tidak lagi dapat dihindari. Hal ini banyak terjadi di berbagai wilayah di Inggris ketika industri mereka berkembang. Bahasa-bahasa kecil yang dituturkan penduduk setempat tergeser oleh bahasa Inggris yang dibawa oleh buruh industri ketempat kecil tersebut.
Pergeseran bahasa yang mengacu pada pergeseran kelompok-kelompok kecil (sedikit penutur) dan rendah status ke arah kelompok bahasa yang lebih besar dan berstatus sosial tinggi merupakan kasus pergeseran bahasa yang berhubungan dengan faktor sosial.
Sekolah juga tidak kalah berperan sebagai faktor penyebab pergeseran bahasa, karena di sekolah seseorang di ajarkan B2 yang berbeda dari bahasa ibunya, misalnya bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dll.
c. Kehilangan bahasa
Pergeseran bahasa (language shift) menjadi penyebab utama kehilangan bahasa, fenomena ini merupakan efek dari perpindahan fungsi bahasa tersebut dan berlaku untuk masyarakat bilingual maupun multilingual. Proses awalnya adalah ketika sekelompok masyarakat menguasai B1, namun karena B1 memiliki peran yang sangat sedikit sekali di dalam komunikasi, sehingga jarang sekali dituturkan, peran bahasa itu kalah dengan bahasa yang dipelajari kemudian memiliki peran yang lebih kuat dalam berkomunikasi. Sehingga lama kelamaan penutur B1 sedikit demi sedikit melupakan bahasanya dan beralih ke B2.
Dalam hal tersebut diatas, Holmes memberikan contoh mengenai kehilangan bahasa seperti yang terjadi pada Annie, seorang penutur bahasa Dyirbal yangberusia 20 tahun, sebuah bahasa suku aborigin di Australia. Dyirbal adalah bahasa pertamanya (B1) lalu ia mempelajari bahasa Inggris di sekolah (B2), dan dalam keseharianya ia lebih banyak menggunakan B2 di setiap aktivitas dibanding B1. Annie dapat mengerti bahasa Dyirbal, namun hanya ia gunakan ketika Annie berkomunikasi dengan neneknya. Tidak ada tulisan dyirbal yang bisa ia baca juga tuturan Dyirbal yang bisa ia dengar, sepanjang aktivitasnya ia menuturkan dan mendengarkan bahasa Inggris, sehingga ia menjadi kurang cakap dalam menggunakan B1nya. Ia hanya mengerti ketika orang-orang tua di komunitasnya berbicara dengan bahasa itu, namun jarang sekali menuturkannya sehingga banyak kosakata dan stuktur bahasa yang terlupakan begitu saja. Dengan demikian kemampuannya dalam bahasa itu semakin berkurang dan berkurang. Bahkan neneknya sering mengatakan bahwa Annie tidak berbicara bahasa Dyirbal dengan baik.
Contoh di atas merupakan kasus yang terjadi berkaitan dengan kehilangan bahasa, Annie hanyalah salah satu contoh, karena masih banyak lagi fenomena-fenomena lain yang berkenaan dengan kehilangan bahasa.
d. Kematian bahasa
Kematian bahasa terjadi ketika suatu bahasa sudah tidak memiliki penutur, memang hal yang sangat disayangkan jika suatu bahasa harus punah, karena bahasa tidak hanya alat komunikasi yang digunakan dalam komunitas masyarakat, lebih dari itu, di dalam suatu bahasa menyimpan khazanah budaya dan kearifan lokal tersendiri; yang kesemuanya ikut punah ketika suatu bahasa mati dan tak lagi memiliki penutur. Jika bahasa tersebut memiliki aksara, sehingga khazanah atau kearifan yang tersimpan dalam bahasa sudah didokumentasi dalam manuskrip, maka kekayaan yang ada dalam bahasa tersebut bisa dipelajari oleh generasi selanjutnya meski bahasa tersebut telah mati. Akan lebih mengenaskan lagi jika suatu bahasa tidak memiliki aksara dan tradisi tulis dan kemudian punah. Sudah dipastikan bahwa bahasa dan segala yang tersimpan di dalamnya akan punah pula. Menurut Holmes (1992), proses matinya sebuah bahasa hampir sama dengan proses pergeseran bahasa. Kloss (dalam Sumarsono, 2008:286), mengatakan bahwa terdapat tipe utama kepunahan bahasa: (a) kepunahan bahasa tanpa adanya pergeseran; (b) kepunahan bahasa karena pergeseran bahasa; (c) kepunahan bahasa nominal melalui metamorfosis (turunya derajat bahasa menjadi dialek dan mulai ditinggalkannya bahasa tersebut oleh para penutur.
Dalam hal ini, contoh fenomena yang terjadi bahwa pada 200 bahasa aborigin yang dituturkan di Australia, ketika eropa masuk ke daerah tersebut, sekitar 50 – 70 punah dengan seketika akibat pembunuhan masal oleh bangsa eropa juga akibat dari penyakit yang di bawa oleh bangsa tersebut yang mengakibatkan kematian para penutur bahasa. Fenomena lain adalah, punahnya bahasa Manx bahasa di sebuah pulau kecil Man, bersamaan dengan meninggalnya penutur terakhir dari bahasa itu, bernama Ned Maddrell pada tahun 1974. Dan punahnya bahasa Cornish di Cornwall bersamaan ketika penuturnya Dolly Pentreath meninggal pada tahun 1977 (Holmes, 1992:62).
Kematian sebuah bahasa tidak terjadi begitu saja, sebelum sebuah bahasa berangsur-angsur punah, terdapat proses pergeseran demi pergeseran bahasa yang penyebabnya adalah fungsi bahasa di suatu daerah diambil alih oleh bahasa lain, hal ini terjadi biasanya terhadap bahasa minoritas terhadap bahasa mayoritas, dimana bahasa mayoritas mengambil alih fungsi bahasa minoritas, sehingga hal yang tidak dapat terelakkan adalah terjadilah perpindahan bahasa yang berakhir pada kepunahan bahasa. Berbeda halnya, jika adanya kesadaran penutur, lantas masyarakat penutur tersebut mengantisipasi dengan mengadakan berbagai upaya pemertahanan bahasa sebagaimana yang telah disinggung di atas.
Jika bahasa dikaitkan dengan umur, jenis kelamin, dan status sosial, maka itu tidak akan terlepas dari kajian ilmu sosial (sosiologi) dan ilmu bahasa sendiri (linguistik), tiga hal diatas secara langsung akan menggolongkan masyarakat menjadi berbagai kelompok. Disiplin ilmu yang mengkaji hubungan antara bahasa dengan masyarakat dinamakan kajian sosiolinguistik, yaitu gabungan dari disiplin sosiologi dan linguistik. Berikut ini akan diuraikan secara rinci antara hubungan bahasa dengan umur, jenis kelamin, dan status sosial dalam kajian sosiolinguistk.
a. Hubungan bahasa dengan umur
Umur secara langsung membagi masyarakat menjadi beberapa golongan usia, yaitu anak-anak, remaja, dan dewasa. Batasan antar golongan usia di sini tidak dapat ditentukan secara pasti. Jika membicarakan hubungan antara bahasa dengan umur atau usia pengguna bahasa itu sendiri, berarti secara langsung mengkaitkan hal di atas dengan dialek sosial (sosiolek), yakni variasi bahasa yang berkaitan dengan status, golongan, dan kelas sosial para penuturnya. Menurut Chaer dan Agustina (2004), berdasarkan usia, dapat dilihat perbedaan variasi bahasa yang digunakan oleh anak-anak, para remaja, orang dewasa, dan orang yang tergolong lansia(=lanjut uisa). Namun demikian, variasi tutur tersebut sifatya temporer karena pengguna ragam tutur tersebut juga mengalami perubahan usia, seiring dengan perubahan usia tersebut maka ragam tutur yang digunakan seseorang akan berubah, sebagai contohnya ketika seorang anak menginjak usia remaja, maka anak tersebut meninggalkan ragam tutur anak-anaknya yang terkesan sederhana dan beralih ke ragam tutur remaja yang lebih unik dan bervariasi. Labov dalam Pateda (1990) mengatakan, makin tinggi umur seseorang, maka makin banyak kata yang dikuasainya, begitu juga pemahamanya dalam struktur bahasanya.
Anak-anak dalam menggunakan bahasanya menggunakan ragam tutur yang berbeda dengan ragam tutur remaja maupun dewasa. Ragam tutur ini bercirikan adanya pengurangan (reduksi) pada kata-kata penghubung, kata sambung, kata depan, partikel, dan sebagainya.
Seperti disebutkan di atas, ragam tutur remaja lebih tekesan unik dan bervariasi. Keunikan tersebut disebabkan oleh kecenderungan para remaja yang suka membentuk kelompok-kelompok yang bersifat eksklusif yang membedakan dengan kelompok lain sehingga menghasilkan bahasa-bahasa yang terkesan rahasia (slang) yang hanya dimengerti oleh anggota kelompok tersebut.
Adapun ragam orang dewasa dalam masyarakat dicirikan dengan keteraturan atau kesesuaian dengan kaidah kebahasaan yang berlaku dalam tiap-tiap bahasa tersebut.
b. Hubungan bahasa dengan jenis kelamin
Di dalam masyarakat, ada dua jenis kelamin yang diakui yaitu laki-laki dan permpuan. Dalam kaitanya dengan penggunaan bahasa, menurut ilmu sosiolinguistik, dapat dilihat adanya perbedaan ragam tutur yang digunakan oleh laki-laki dan perempuan. Untuk mempermudah pemahaman, selanjutnya pria akan disingkat menjadi P dan wanita akan disingkat menjadi W.
Sumarsono (2008) menyatakan ada beberapa faktor yang berhubungan dengan perbedaan bahasa antara laki-laki dan perempuan, diantaranya adalah faktor suara dan intonasi. Sudah diketahui bersama bahwa antara laki-laki dan perempuan memiliki jenis suara yang berbeda, jenis suara wanita pada umumnya adalah alto dan sopran, sedangkan jenis suara pria adalah tenor dan bas. Hal tersebut tentu saja berkaitan dengan perbedaan organ-organ tubuh penghasil suara antara laki-laki dan perempuan.
Menurut Wardhaugh (1988), terdapat perbedaan berbahasa antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan itu meliputi beberapa tataran kebahasaan dengan beberapa contoh kasus yang ditemukan dalam bahasa tersebut: (a) Perbedaan fonologi. Ditemukan perbedaan fonologi antara tuturan bahasa laki-laki dan perempuan. Sebagaimana perbedaan variasi yang ditemukan di dalam perbedaan dialek-dialek yang ada di Inggris. Seperti bahasa Siberian Chukchi, pada L (dan tidak pada P) kerap menghapus salah satu fonem /n/ dan /t/ ketika keduanya bertemu di antara dua vokal dalam satu kata. Seperti, P menuturkan nitvaqenaat sedangkan L menuturkan nitvaqaat; (b) Perbedaan pada tataran morfologi dan leksikon. Dalam tataran ini Wardhaugh mengutip contoh yang dikemukakan oleh Lakoff yang menyatakan bahwa pada bahasa Inggris wanita sering menggunakan kosakata warna seperti mauve, beige, aquamarine, lavender, dan magenta; sedangkan laki-laki tidak. Dan bahasa Inggris pula memiliki kosakata yang di dasarkan pada perbedaan gender/jenis kelamin, seperti actor – actress, waiter – waitress, master – mistress, dll.
Dalam beberapa bahasa, terdapat juga beberapa contoh perbedaan penggunaan kosakata yang digunakan oleh P dan L meskipun ini tidak secara keseluruhan. Dalam bahasa Jepang, terdapat beberapa contoh yang jelas.
Perempuan
Laki-laki
Ohiya
Mizu
‘air’
Onaka
Hara
‘perut’
Oisii
Umai
‘lezat’
Taberu
Kuu
‘makan’
Tabel Holmes (1992:165)
Beberapa tanda kebahasaan berdasarkan jenis kelamin pengguna tuturan terdapat dalam pengucapanya. Dalam bahasa Jepang, ada sebuah kata atashi yang berarti ‘saya’ hanya digunakan oleh perempuan, dan boku yang hanya digunakan oleh laki-laki, akan tetapi terdapat juga kata watakushi yang bisa digunakan oleh keduanya baik penutur laki-laki maupun perempuan (Holmes, 1992:165-166).
c. Hubungan bahasa dengan status sosial
Sebelum membicarakan hubungan bahasa dengan status sosial, terlebih dahulu akan dibahas adanya tingkat sosial dalam masyarakat. Chaer dan Agustina (2004) menjelaskan bahwa tingkat sosial di dalam masyarakat dapat dilihat dari dua segi: pertama, dari segi kebangsawanan; kalau ada, kedua, dari segi kedudukan sosial yang ditandai dengan tingkat pendidikan dan keadaan perokonomian. Biasanya yang memiliki pendidikan lebih baik memungkinkan untuk memperoleh taraf perokonomian yang lebih baik pula. Tetapi ini tidak mutlak. Bisa saja taraf pendidikanya lebih baik, namun, taraf perekonomianya kurang baik. Sebaliknya, yang memiliki taraf pendidikan kurang, tetapi memiliki taraf perekonomian yang baik.
Dalam bahasa Jawa, hubungan antara variasi bahasa yang penggunaanya didasarkan pada tingkat-tingkat sosial ini dikenal dengan istilah undakusuk. Uhlenceck (1970), seorang pakar bahasa Jawa, membagi tingkat variasi menjadi tiga, yaitu krama, madya, dan ngoko. Lalu, masing-masing diperinci lagi menjadi muda krama, kramantara, dan wreda krama madyangoko, madyantara, dan madya krama; ngoko sopan dan ngoko andhap. Misalnya jika seseorang yang status sosialnya lebih rendah berbicara kepada orang yang mempunyai status sosial yang lebih tinggi atau sebaliknya, maka masing-masing menggunakan variasi bahasa Jawa yang berlainan. Pihak yang tingkat sosialnya lebih rendah menggunakan tingkat bahasa yang lebih tinggi, yaitu krama; dan yang tingkat sosialnya lebih tinggi menggunakan tingkat bahasa yang lebih rendah, yaitu ngoko. Seperti Perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam bahasa Jawa dialek Yogya – Solo dan bahasa Jawa dialek Surabaya, sebagaimana tabel berikut (Sumarsono, 2008:43-48).
Bahasa Indonesia
Yogya-Solo
Surabaya
Krama
Ngoko
Krama
Ngoko
1
2
3
4
5
saya
kula
aku
kula
Aku
kamu
sampeyan
kowe
sampeyan
Kon
tidak
mboten
ora
mboten
gak; dak
sudah
sampun
wis
sampun
Wis
Perbedaan tingkat bahasa seperti ini juga dapat ditemukan di dalam beberapa bahasa di dunia.